Langsung ke konten utama

Lokomotif SCS 200 : Pelari Pantura yang Tersesat di Rimba Sumatra



Medio 1942 - 1945 Pemerintah Militer Jepang berkuasa di Hindia Belanda dan sekitarnya. Berkuasanya Jepang di Hindia Belanda menuliskan lembaran sejarah baru di daratan kepulauan nusantara ini. Lembaran sejarah baru pendudukan Jepang di Hindia Belanda membuat alur cerita sendiri di dalamnya. Walaupun alur sejarah itu bisa dibilang salah satu lembar sejarah kelam yang ada di Indonesia. Jejak tapak berkuasanya Jepang tersebut masih ada sisanya hingga kini.

Salah satu peninggalan era pendudukan Jepang yang sangat fenomenal adalah jalur kereta api. Jalur kereta api di sini bukanlah jalur kereta api biasa namun terdapat sebuah fakta menarik yang patut untuk diulas. Jalur kereta api yang dibangun pada masa pendudukan Jepang ini awam disebut dengan nama jalur kereta api maut. Negara di luar Indonesia katakanlah Belanda dan Inggris lebih mengenal jalur bersejarah ini dengan nama Pekanbaru Death Railway atau Sumatra Death Railway. Jalur kereta ini membentang sejauh 220 km yang menghubungkan antara Kota Pekanbaru (Riau) dengan Muaro Sijunjung (Sumatra Barat). Penamaan jalur ini dengan sebutan “maut” bukanlah tanpa alasan. Sebab dalam pengerjaan proyek ini Jepang banyak mengerahkan tenaga kerja yang tentu saja banyak memakan korban jiwa. Proyek kereta api maut di Sumatra ini seperiode dengan jalur kereta api maut lainnya yakni jalur Saketi - Bayah di Banten dan jalur Burma - Siam di Indochina.

Korban jiwa yang berjatuhan untuk pengerjaan proyek ini tidak dapat dihitung secara pasti. Perhitungan jumlah korban jiwa yang meninggal sampai detik ini masih kisaran kurang lebih. Hal tersebut dikarenakan saking banyaknya korban yang jatuh dan pihak Jepang sendiri yang menutup diri terhadap tragedi kemanusiaan ini. Sumber-sumber tertulis banyak yang menuliskan bahwa selama pengerjaan proyek ini, Jepang memboyong rōmusha (労務者; ろうむしゃ; pekerja/buruh) dari Jawa lebih kurang sebanyak 120.000 jiwa. Namun menurut catatan M. Syafei Abdullah (mantan mandor rōmusha) yang beliau tulis dalam buku “Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api Muarosijunjung - Pekanbaru 1943-1945” menyebutkan bahwa jumlah pekerja ini mencapai lebih kurang 285.000 jiwa. Rōmusha yang mampu bertahan hidup dari tragedi ini tidaklah banyak, hanya sekitar 23.000 jiwa saja salah satunya adalah kakek penulis. Selain rōmusha yang mayoritas didatangkan dari Jawa, Jepang juga menggunakan tenaga paksa lainnya yang berasal tawanan perang atau Prisoner of War (PoW) yang berasal dari tentara sekutu berbagai negara dan interniran yang mayoritas dari keturunan (Indo-Belanda) maupun Eropa totok. Jumlah tenaga yang berasal dari “golongan Eropa” itu mencapai 6.593 jiwa. Dari jumlah 6.593 jiwa itu, terdapat lebih kurang 1.818 jiwa yang meninggal karena tenggelamnya kapal yang membawa mereka ke Sumatra yakni kapal Jun'yō Maru (順陽丸; じゅんようまる) dan Harugiku Maru (治菊丸; はるぎくまる). Sedangkan jumlah yang meninggal dalam pengerjaan proyek ini lebih kurang 698 jiwa ada juga yang menyebut sebanyak 703 jiwa dengan rincian sebagai berikut:

No.
Kebangsaan (Warga Negara)
Jumlah Korban Meninggal
1
Belanda
499
2
Inggris
147
3
Indonesia (KNIL)
26
4
Australia
26
5
Amerika Serikat
3
6
Selandia Baru
1
7
Norwegia
1

Terlepas dari jumlah tenaga kerja yang dikerahkan untuk pengerjaan proyek ini, Jepang juga mendatangkan material-material pendukung untuk keberlangsungan proyek kereta api ini. Mereka mendatangkan material pendukung proyek kereta api ini sebagian besar merupakan hasil “curian” dari perusahaan atau operator layanan jasa kereta api Hindia Belanda yang ada baik milik negara maupun swasta. Pernyataan mengenai asal muasal material yang didatangkan Jepang dalam proses pengerjaan proyek jalur maut ini tertera dalam majalah Belanda Spoor en Tramwegen edisi 25 April 1946 dengan judul artikel Nogmaals De doodenspoorweg van Pakanbaroe (Sumatra) yang ditulis oleh J. Meyer (Kepala Lintasan dan Pekerjaan Perusahaan Kereta Api Swasta Deli Spoorweg Maatschappij). Artikel yang beliau tulis dengan padat membahas mengenai asal muasal peralatan apa saja yang dicuri oleh Jepang. Lebih jelasnya berikut cuplikan artikel dalam majalah yang memuat komponen pendukung pengerjaan proyek kereta api maut ini:

Sumber: Delpher

Cuplikan artikel di atas dapat kita jabarkan sebagai berikut:


“Situasinya masih cukup wajar pada bulan September 1945, tetapi beberapa lokomotif benar-benar tergelincir.
Dari DSM (Deli Spoorweg Maatschappij)
No. 60 dan 69 (1 BI),
7 dan 56 (BI)
30 (B), total 5 buah

SCS (Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij)
5 lokomotif berat dengan tender (2 G)

Selain itu, berbagai lokomotif SSS (Staatsspoorwegen ter’Sumatra Weskust) dan SS (Staastspoorwegen) yang lebih kecil dan beberapa sedikit lebih besar

Secara total ada sekitar 200 gerbong, kebanyakan gerbong datar dan pemberat, gerbong boks dan gerbong tangki tunggal, kebanyakan peralatan SS (Staastspoorwegen). Perlengkapan penumpang tidak tersedia. Terakhir beberapa kereta motor Jepang, yang juga cocok untuk lalu lintas jalan raya dan beberapa truk untuk peletakan rel.”


Pernyataan Tuan J. Meyer dalam tulisannya di atas dapat kita simpulkan bahwa Jepang mengambil peralatan pendukung kereta api ini dari berbagai perusahaan kereta api yang ada di Hindia Belanda kala itu termasuk diantaranya berbagai macam lokomotif, gerbong, dan beberapa perlengkapan lainnya. Dari sekian banyak peralatan yang diambil oleh Jepang untuk didatangkan ke Sumatra, hingga kini setelah 75 tahun berlalu selesainya proyek kereta maut, sisa-sisa itu masih ada dan masih bisa kita lihat di salah satu petak jalur rel kereta api tersebut. Sisa material itu ialah sebuah lokomotif yang sudah menua dan terbujur kaku di daerah yang bernama Lipat Kain, Kabupaten Kampar, Riau.

Lokomotif yang teronggok menjadi besi tua di Lipat Kain tersebut adalah lokomotif milik salah satu perusahaan kereta api swasta semasa Hindia Belanda yaitu SCS (Semarang-Cheribon Stoomtram Maastchappij N.V). SCS merupakan perusahaan kereta api swasta era Kolonial Belanda yang melayani rute Semarang - Cirebon. Perusahaan yang dibangun tahun 1895 ini melayani rute jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) yang sampai kini sebagian jalurnya masih bisa kita rasakan. Walaupun mengusung nama Semarang dan Cirebon, sejatinya perusahaan SCS ini bermarkas besar di Kota Tegal, Jawa Tengah. Sampai kini gedung bekas markas besar SCS masih berdiri kokoh di Kota Tegal dekat dengan Stasiun Tegal. Masyarakat Kota Tegal mengenal kantor SCS ini dengan sebutan Gedung Birao. Peninggalan lain daripada perusahaan SCS yang masih bisa kita jumpai dan beroperasi salah satunya adalah Stasiun Semarang Poncol dan Stasiun Cirebon Prujakan. Dahulu awalnya stasiun pertama SCS bukan Stasiun Semarang Poncol melainkan Stasiun Pendrikan yang berada di Jl. Indraprasta, Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah. Nama lain dari Stasiun Pendrikan ini adalah Stasiun Semarang SCS.

Stasiun Pendrikan
Sumber: KITLV

Lokomotif milik SCS yang tersesat di Sumatra itu merupakan salah satu korban “pencurian” yang dilakukan oleh Jepang tahun 1943 - 1945 silam guna melancarkan ambisi membangun jalur rel antara Pekanbaru - Muaro Sijunjung. Lokomotif yang diambil oleh Jepang itu merupakan lokomotif seri SCS200 atau awam mengenalnya dengan nama lokomotif C54. Lokomotif SCS200 ini pada zamannya adalah “pelari” di Pantura yang digunakan untuk menarik kereta ekspres trayek Semarang ke Cirebon. Jenis lokomotif ini cocok untuk digunakan dalam lintas lurus seperti di Pantura. Tetapi, tidak tahu kenapa alasan Jepang turut mengambil lokomotif ini untuk dijadikan sarana penarik di lintas Sumatra yang terkenal curam dan terjal. Mungkin dikarenakan Jepang tidak paham dengan spesifikasi dan peruntukan lokomotif seri ini.

Sebagai pembuktian jika lokomotif yang berada di Lipat Kain itu adalah milik SCS dengan seri SCS200 penulis melakukan kunjungan langsung ke lapangan. Posisi lokomotif itu berada di salah satu perusahaan perkebunan karet milik swasta yang bernama PT. Ganda Buanindo tepatnya di Jl. Lokomotif Jepang, Lipat Kain. Akses masuk menuju ke lokasi bisa dilalui oleh roda dua maupun roda empat dengan jalan tanah. Muncul pertanyaan mengapa sebuah lokomotif besar itu bisa ada di dalam perkebunan milik perusahaan. Hal itu dikarenakan dahulu lokasi tersebut merupakan bagian dari petak jalur kereta api Pekanbaru - Muaro Sijunjung. Kepala lokomotif tersebut menghadap ke utara (menuju Pekanbaru). Disinyalir lokomotif tersebut tertinggal ketika Jepang sudah kalah perang pada tanggal 15 Agustus 1945. Seiring berjalannya waktu kondisi yang dahulunya adalah jalur kereta api berubah fungsi menjadi areal perkebunan. Namun posisi lokomotif tersebut tetap autentik yakni tidak dipindahkan dari posisi awalnya.

Pada saat di lokasi situs sejarah bangkai lokomotif, penulis melakukan observasi dan identifikasi secara intens. Walaupun sudah ada keterangan resmi dari PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Persero yang menyebutkan bahwa lokomotif SCS yang dibawa ke Sumatra adalah seri SCS200, tetap saja rasa penasaran dan ingin mengetahui langsung sungguh amat besar. Di sana penulis menemukan bukti autentik yang menandakan sebuah kepemilikan dari lokomotif tersebut. Tersemat tulisan “SCS” di bagian samping kiri ketel lokomotif tersebut.

Marking SCS pada lokomotif di Lipat Kain
Sumber: Penulis

Dengan adanya marking SCS di ketel lokomotif ini menguatkan bukti autentik yang ada bahwa lokomotif ini ialah benar milik perusahaan kereta api asal Tanah Jawa, SCS. Selain itu, penulis juga melakukan pengamatan terhadap bentuk fisik dari lokomotif tersebut. Sebelum menuju ke Lipat Kain ini, beberapa waktu yang lalu secara pribadi penulis pernah mengunjungi Museum Kereta Api di Ambarawa, Jawa Tengah. Di sana penulis menemukan saudara dari lokomotif yang ada di Lipat Kain yakni lokomotif C54 17. Fisik lokomotif yang ada di Lipat Kain dan Ambarawa memiliki kesamaan. Kesamaan itu terletak pada bentuk ketel, bentuk posisi roda, tender, saddletank, steam dome dan cerobong.

Namun sayang, kondisi lokomotif yang ada di Lipat Kain ini berbeda 180 derajat dengan saudaranya yang ada di Museum Kereta Api Ambarawa. Jika C54/SCS200 yang berada di Museum Kereta Api Ambarawa tampak lebih sehat dan bugar, maka lokomotif C54/SCS200 yang berada di Lipat Kain ini sangat memprihatinkan. Kondisi fisik yang hancur dengan banyak kehilangan komponen seperti kabin masinis, roda, cerobong, plat fire box, dan lain-lain. Jepang membawa lokomotif seri yang sama dari perusahaan SCS bukan hanya satu buah saja. Tercatat bahwa Jepang membawa sebanyak 4 unit ke Sumatra dari total 19 buah yang dimiliki oleh SCS.

Unit lokomotif C54/SCS200 dibeli oleh SCS pada tahun 1922 dari dua pabrik yang berbeda yaitu 13 unit lokomotif dibeli dari pabrik Hartmann, Jerman dan 6 lokomotif lainnya dibeli dari pabrik Beyer Peacock, Inggris. Dari 4 unit lokomotif yang dibawa oleh Jepang ke Sumatra, hanya satu yang tersisa yakni di Lipat Kain.

Lokomotif SCS200/C54 di Lipat Kain
Sumber: Penulis

Lokomotif SCS200/C54 di Museum Ambarawa
Sumber: Yoga Bagus

Sampai sekarang PT. Kereta Api Indonesia (KAI) hanya membuat keterangan bahwa dari 19 unit lokomotif C54/SCS200 yang tersisa di Indonesia hanya ada satu unit yakni di Museum Kereta Api Ambarawa (C54 17) yang merupakan buatan pabrik Beyer Peacock, Inggris. Padahal di tanah perantauannya lokomotif C54/SCS200 ini masih ada walaupun dalam bentuk yang tidak utuh lagi. Namun bagi railfans (sebutan untuk pencinta kereta api) lokomotif yang tersisa di Lipat Kain ini masih bisa untuk diidentifikasi.

Kondisi Lokomotif C54/SCS200 di Lipat Kain & Ambarawa
Sumber: Penulis

Melihat kondisi lokomotif C54/SCS200 yang berada di Lipat Kain, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau ini sungguh pilu dan menyayat hati. Bagaimana tidak situs sejarah yang seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat Riau ini pelan-pelan sirna karena ulah tangan jahil manusia. Besi-besi lokomotif itu hilang bukan hanya karena dimakan usia melainkan karena diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Boleh dibilang kepedulian masyarakat sekitar akan hal sejarah masih kurang. Padahal di luar negeri sana orang-orang mantan pekerja paksa atau bekas daripada tawanan perang (prisoner of war) dan interniran yang sempat diculik Jepang untuk ikut andil dalam proyek kereta api maut ini masih mengingat peristiwa sejarah yang mereka alami. Setiap tahun di bulan Agustus mereka kerap melakukan napak tilas sejarah untuk mengenang perjalanan leluhurnya. Namun di Indonesia sendiri sebagai salah satu saksi bisu peninggalan sejarah besar ini justru seperti diabaikan dan dianggap sebelah mata. Akan tetapi masih ada sedikit rasa bangga, bangkai lokomotif ini masih ada terlihat bentuk utuhnya dan bisa dibilang ini satu-satunya lokomotif yang relatif utuh yang berada di Riau.

Sampai detik ini lokomotif C54/SCS200 itu tetap bersemayam dengan tenang di tengah kebun karet. Besar harapan untuk pegiat sejarah dan masyarakat agar selalu mengingat sejarah dengan cara menjaga keadaan dan keutuhan lokomotif yang tersisa. Jangan sampai ada lagi yang “dipreteli” oleh tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab. Sungguh sayang dan merugi jika lokomotif yang tersisa ini raib karena bisa dibilang keberadaan lokomotif ini di Indonesia hanya tinggal dua unit saja dan termasuk barang langka. Harapannya ke depan semoga situs sejarah ini dapat digunakan sebagai media pembelajaran sejarah melalui studi tour oleh guru sejarah di sekolah agar peserta didik dapat merasakan belajar sejarah yang sesungguhnya dengan atmosfer yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syafei. (2002). Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api Muarasijunjung - Pekanbaru 1943-1945. Pekanbaru: UNRI Press.
Meyer, J. (1946). Nogmaals de Doodespoorweg van Pakanbaroe (Sumatra). Utrech: Spoor en Tramwegen.
Prayogo, Yoga Bagus.,dkk. (2017). Kereta Api di Indonesia Sejarah Lokomotif Uap. Yogyakarta: JB. Publisher.

Komentar