Salah satu peninggalan era pendudukan Jepang yang sangat fenomenal
adalah jalur kereta api. Jalur kereta api di sini bukanlah jalur
kereta api biasa namun terdapat sebuah fakta menarik yang patut
untuk diulas. Jalur kereta api yang dibangun pada masa pendudukan
Jepang ini awam disebut dengan nama jalur kereta api maut. Negara di
luar Indonesia katakanlah Belanda dan Inggris lebih mengenal jalur
bersejarah ini dengan nama Pekanbaru Death Railway atau
Sumatra Death Railway. Jalur kereta ini membentang sejauh 220
km yang menghubungkan antara Kota Pekanbaru (Riau) dengan Muaro
Sijunjung (Sumatra Barat). Penamaan jalur ini dengan sebutan “maut”
bukanlah tanpa alasan. Sebab dalam pengerjaan proyek ini Jepang
banyak mengerahkan tenaga kerja yang tentu saja banyak memakan
korban jiwa. Proyek kereta api maut di Sumatra ini seperiode dengan
jalur kereta api maut lainnya yakni jalur Saketi - Bayah di Banten
dan jalur Burma - Siam di Indochina.
Korban jiwa yang berjatuhan untuk pengerjaan proyek ini tidak dapat
dihitung secara pasti. Perhitungan jumlah korban jiwa yang meninggal
sampai detik ini masih kisaran kurang lebih. Hal tersebut
dikarenakan saking banyaknya korban yang jatuh dan pihak Jepang
sendiri yang menutup diri terhadap tragedi kemanusiaan ini.
Sumber-sumber tertulis banyak yang menuliskan bahwa selama
pengerjaan proyek ini, Jepang memboyong
rōmusha (労務者; ろうむしゃ; pekerja/buruh) dari Jawa lebih
kurang sebanyak 120.000 jiwa. Namun menurut catatan M. Syafei
Abdullah (mantan mandor rōmusha) yang beliau tulis dalam buku
“Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api Muarosijunjung - Pekanbaru
1943-1945” menyebutkan bahwa jumlah pekerja ini mencapai lebih
kurang 285.000 jiwa. Rōmusha yang mampu bertahan hidup dari
tragedi ini tidaklah banyak, hanya sekitar 23.000 jiwa saja salah
satunya adalah kakek penulis. Selain rōmusha yang mayoritas
didatangkan dari Jawa, Jepang juga menggunakan tenaga paksa lainnya
yang berasal tawanan perang atau Prisoner of War (PoW)
yang berasal dari tentara sekutu berbagai negara dan interniran yang
mayoritas dari keturunan (Indo-Belanda) maupun Eropa totok.
Jumlah tenaga yang berasal dari “golongan Eropa” itu mencapai 6.593
jiwa. Dari jumlah 6.593 jiwa itu, terdapat lebih kurang 1.818 jiwa
yang meninggal karena tenggelamnya kapal yang membawa mereka ke
Sumatra yakni kapal Jun'yō Maru (順陽丸; じゅんようまる) dan Harugiku Maru (治菊丸; はるぎくまる). Sedangkan jumlah yang meninggal dalam pengerjaan proyek ini
lebih kurang 698 jiwa ada juga yang menyebut sebanyak 703 jiwa
dengan rincian sebagai berikut:
No.
|
Kebangsaan (Warga Negara)
|
Jumlah Korban Meninggal
|
1
|
Belanda
|
499
|
2
|
Inggris
|
147
|
3
|
Indonesia (KNIL)
|
26
|
4
|
Australia
|
26
|
5
|
Amerika Serikat
|
3
|
6
|
Selandia Baru
|
1
|
7
|
Norwegia
|
1
|
Sumber:
Pekanbaru Death Railway
Terlepas dari jumlah tenaga kerja yang dikerahkan untuk pengerjaan proyek
ini, Jepang juga mendatangkan material-material pendukung untuk
keberlangsungan proyek kereta api ini. Mereka mendatangkan material
pendukung proyek kereta api ini sebagian besar merupakan hasil “curian”
dari perusahaan atau operator layanan jasa kereta api Hindia
Belanda yang ada baik milik negara maupun swasta. Pernyataan mengenai asal
muasal material yang didatangkan Jepang dalam proses pengerjaan proyek
jalur maut ini tertera dalam majalah Belanda
Spoor en Tramwegen edisi 25 April 1946 dengan judul artikel
Nogmaals De doodenspoorweg van Pakanbaroe (Sumatra) yang ditulis
oleh J. Meyer (Kepala Lintasan dan Pekerjaan Perusahaan Kereta Api Swasta
Deli Spoorweg Maatschappij). Artikel yang beliau tulis dengan padat
membahas mengenai asal muasal peralatan apa saja yang dicuri oleh Jepang.
Lebih jelasnya berikut cuplikan artikel dalam majalah yang memuat komponen
pendukung pengerjaan proyek kereta api maut ini:
Sumber: Delpher |
Cuplikan artikel di atas dapat kita jabarkan sebagai berikut:
“Situasinya masih cukup wajar pada bulan September 1945, tetapi beberapa
lokomotif benar-benar tergelincir.
Dari DSM (Deli Spoorweg Maatschappij)
No. 60 dan 69 (1 BI),
7 dan 56 (BI)
30 (B), total 5 buah
Dari DSM (Deli Spoorweg Maatschappij)
No. 60 dan 69 (1 BI),
7 dan 56 (BI)
30 (B), total 5 buah
SCS (Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij)
5 lokomotif berat dengan tender (2 G)
5 lokomotif berat dengan tender (2 G)
Selain itu, berbagai lokomotif SSS (Staatsspoorwegen ter’Sumatra Weskust)
dan SS (Staastspoorwegen) yang lebih kecil
dan
beberapa sedikit lebih besar
Secara total ada sekitar 200 gerbong, kebanyakan gerbong datar dan
pemberat, gerbong boks dan gerbong tangki tunggal, kebanyakan peralatan SS
(Staastspoorwegen). Perlengkapan penumpang tidak tersedia. Terakhir beberapa
kereta motor Jepang, yang juga cocok untuk lalu lintas jalan raya dan
beberapa truk untuk peletakan rel.”
Pernyataan Tuan J. Meyer dalam tulisannya di atas dapat kita simpulkan
bahwa Jepang mengambil peralatan pendukung kereta api ini dari berbagai
perusahaan kereta api yang ada di Hindia Belanda kala itu termasuk
diantaranya berbagai macam lokomotif, gerbong, dan beberapa perlengkapan
lainnya. Dari sekian banyak peralatan yang diambil oleh Jepang untuk
didatangkan ke Sumatra, hingga kini setelah 75 tahun berlalu selesainya
proyek kereta maut, sisa-sisa itu masih ada dan masih bisa kita lihat di
salah satu petak jalur rel kereta api tersebut. Sisa material itu ialah
sebuah lokomotif yang sudah menua dan terbujur kaku di daerah yang bernama
Lipat Kain, Kabupaten Kampar, Riau.
Lokomotif yang teronggok menjadi besi tua di Lipat Kain tersebut adalah
lokomotif milik salah satu perusahaan kereta api swasta semasa Hindia
Belanda yaitu SCS (Semarang-Cheribon Stoomtram Maastchappij N.V). SCS
merupakan perusahaan kereta api swasta era Kolonial Belanda yang melayani
rute Semarang - Cirebon. Perusahaan yang dibangun tahun 1895 ini melayani
rute jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) yang sampai kini sebagian jalurnya
masih bisa kita rasakan. Walaupun mengusung nama Semarang dan Cirebon,
sejatinya perusahaan SCS ini bermarkas besar di Kota Tegal, Jawa Tengah.
Sampai kini gedung bekas markas besar SCS masih berdiri kokoh di Kota Tegal
dekat dengan Stasiun Tegal. Masyarakat Kota Tegal mengenal kantor SCS ini
dengan sebutan Gedung Birao. Peninggalan lain daripada perusahaan SCS yang
masih bisa kita jumpai dan beroperasi salah satunya adalah Stasiun Semarang
Poncol dan Stasiun Cirebon Prujakan. Dahulu awalnya stasiun pertama SCS
bukan Stasiun Semarang Poncol melainkan Stasiun Pendrikan yang berada di Jl.
Indraprasta, Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang Tengah, Kota
Semarang, Jawa Tengah. Nama lain dari Stasiun Pendrikan ini adalah Stasiun
Semarang SCS.
Stasiun Pendrikan Sumber: KITLV |
Lokomotif milik SCS yang tersesat di Sumatra itu merupakan salah satu
korban “pencurian” yang dilakukan oleh Jepang tahun 1943 - 1945 silam guna
melancarkan ambisi membangun jalur rel antara Pekanbaru - Muaro Sijunjung.
Lokomotif yang diambil oleh Jepang itu merupakan lokomotif seri SCS200 atau
awam mengenalnya dengan nama lokomotif C54. Lokomotif SCS200 ini pada
zamannya adalah “pelari” di Pantura yang digunakan untuk menarik kereta
ekspres trayek Semarang ke Cirebon. Jenis lokomotif ini cocok untuk
digunakan dalam lintas lurus seperti di Pantura. Tetapi, tidak tahu kenapa
alasan Jepang turut mengambil lokomotif ini untuk dijadikan sarana penarik
di lintas Sumatra yang terkenal curam dan terjal. Mungkin dikarenakan Jepang
tidak paham dengan spesifikasi dan peruntukan lokomotif seri ini.
Sebagai pembuktian jika lokomotif yang berada di Lipat Kain itu adalah
milik SCS dengan seri SCS200 penulis melakukan kunjungan langsung ke
lapangan. Posisi lokomotif itu berada di salah satu perusahaan perkebunan
karet milik swasta yang bernama PT. Ganda Buanindo tepatnya di Jl. Lokomotif
Jepang, Lipat Kain. Akses masuk menuju ke lokasi bisa dilalui oleh roda dua
maupun roda empat dengan jalan tanah. Muncul pertanyaan mengapa sebuah
lokomotif besar itu bisa ada di dalam perkebunan milik perusahaan. Hal itu
dikarenakan dahulu lokasi tersebut merupakan bagian dari petak jalur kereta
api Pekanbaru - Muaro Sijunjung. Kepala lokomotif tersebut menghadap ke
utara (menuju Pekanbaru). Disinyalir lokomotif tersebut tertinggal ketika
Jepang sudah kalah perang pada tanggal 15 Agustus 1945. Seiring berjalannya
waktu kondisi yang dahulunya adalah jalur kereta api berubah fungsi menjadi
areal perkebunan. Namun posisi lokomotif tersebut tetap autentik yakni tidak
dipindahkan dari posisi awalnya.
Pada saat di lokasi situs sejarah bangkai lokomotif, penulis melakukan
observasi dan identifikasi secara intens. Walaupun sudah ada keterangan
resmi dari PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Persero yang menyebutkan bahwa
lokomotif SCS yang dibawa ke Sumatra adalah seri SCS200, tetap saja rasa
penasaran dan ingin mengetahui langsung sungguh amat besar. Di sana penulis
menemukan bukti autentik yang menandakan sebuah kepemilikan dari lokomotif
tersebut. Tersemat tulisan “SCS” di bagian samping kiri ketel lokomotif
tersebut.
Marking SCS pada lokomotif di Lipat Kain Sumber: Penulis |
Dengan adanya marking SCS di ketel lokomotif ini menguatkan bukti
autentik yang ada bahwa lokomotif ini ialah benar milik perusahaan kereta
api asal Tanah Jawa, SCS. Selain itu, penulis juga melakukan pengamatan
terhadap bentuk fisik dari lokomotif tersebut. Sebelum menuju ke Lipat Kain
ini, beberapa waktu yang lalu secara pribadi penulis pernah mengunjungi
Museum Kereta Api di Ambarawa, Jawa Tengah. Di sana penulis menemukan
saudara dari lokomotif yang ada di Lipat Kain yakni lokomotif C54 17. Fisik
lokomotif yang ada di Lipat Kain dan Ambarawa memiliki kesamaan. Kesamaan
itu terletak pada bentuk ketel, bentuk posisi roda, tender,
saddletank, steam dome dan cerobong.
Namun sayang, kondisi lokomotif yang ada di Lipat Kain ini berbeda 180
derajat dengan saudaranya yang ada di Museum Kereta Api Ambarawa. Jika
C54/SCS200 yang berada di Museum Kereta Api Ambarawa tampak lebih sehat dan
bugar, maka lokomotif C54/SCS200 yang berada di Lipat Kain ini sangat
memprihatinkan. Kondisi fisik yang hancur dengan banyak kehilangan komponen
seperti kabin masinis, roda, cerobong, plat fire box, dan lain-lain.
Jepang membawa lokomotif seri yang sama dari perusahaan SCS bukan hanya satu
buah saja. Tercatat bahwa Jepang membawa sebanyak 4 unit ke Sumatra dari
total 19 buah yang dimiliki oleh SCS.
Unit lokomotif C54/SCS200 dibeli oleh SCS pada tahun 1922 dari dua pabrik
yang berbeda yaitu 13 unit lokomotif dibeli dari pabrik Hartmann, Jerman dan
6 lokomotif lainnya dibeli dari pabrik Beyer Peacock, Inggris. Dari 4 unit
lokomotif yang dibawa oleh Jepang ke Sumatra, hanya satu yang tersisa yakni
di Lipat Kain.
Lokomotif SCS200/C54 di Lipat Kain Sumber: Penulis |
Lokomotif SCS200/C54 di Museum Ambarawa Sumber: Yoga Bagus |
Sampai sekarang PT. Kereta Api Indonesia (KAI) hanya membuat keterangan
bahwa dari 19 unit lokomotif C54/SCS200 yang tersisa di Indonesia hanya ada
satu unit yakni di Museum Kereta Api Ambarawa (C54 17) yang merupakan buatan
pabrik Beyer Peacock, Inggris. Padahal di tanah perantauannya lokomotif
C54/SCS200 ini masih ada walaupun dalam bentuk yang tidak utuh lagi. Namun
bagi railfans (sebutan untuk pencinta kereta api) lokomotif yang
tersisa di Lipat Kain ini masih bisa untuk diidentifikasi.
Melihat kondisi lokomotif C54/SCS200 yang berada di Lipat Kain, Kabupaten
Kampar, Provinsi Riau ini sungguh pilu dan menyayat hati. Bagaimana tidak
situs sejarah yang seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat Riau ini
pelan-pelan sirna karena ulah tangan jahil manusia. Besi-besi lokomotif itu
hilang bukan hanya karena dimakan usia melainkan karena diambil oleh orang
yang tidak bertanggung jawab. Boleh dibilang kepedulian masyarakat sekitar
akan hal sejarah masih kurang. Padahal di luar negeri sana orang-orang
mantan pekerja paksa atau bekas daripada tawanan perang (prisoner of war) dan interniran yang sempat diculik Jepang untuk ikut andil dalam proyek
kereta api maut ini masih mengingat peristiwa sejarah yang mereka alami.
Setiap tahun di bulan Agustus mereka kerap melakukan napak tilas sejarah
untuk mengenang perjalanan leluhurnya. Namun di Indonesia sendiri sebagai
salah satu saksi bisu peninggalan sejarah besar ini justru seperti diabaikan
dan dianggap sebelah mata. Akan tetapi masih ada sedikit rasa bangga,
bangkai lokomotif ini masih ada terlihat bentuk utuhnya dan bisa dibilang
ini satu-satunya lokomotif yang relatif utuh yang berada di Riau.
Sampai detik ini lokomotif C54/SCS200 itu tetap bersemayam dengan tenang di
tengah kebun karet. Besar harapan untuk pegiat sejarah dan masyarakat agar
selalu mengingat sejarah dengan cara menjaga keadaan dan keutuhan lokomotif
yang tersisa. Jangan sampai ada lagi yang “dipreteli” oleh tangan-tangan
jahil yang tidak bertanggung jawab. Sungguh sayang dan merugi jika lokomotif
yang tersisa ini raib karena bisa dibilang keberadaan lokomotif ini di
Indonesia hanya tinggal dua unit saja dan termasuk barang langka. Harapannya
ke depan semoga situs sejarah ini dapat digunakan sebagai media pembelajaran
sejarah melalui studi tour oleh guru sejarah di sekolah agar peserta
didik dapat merasakan belajar sejarah yang sesungguhnya dengan atmosfer yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syafei. (2002). Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api Muarasijunjung - Pekanbaru 1943-1945. Pekanbaru: UNRI Press.
Meyer, J. (1946). Nogmaals de Doodespoorweg van Pakanbaroe (Sumatra). Utrech: Spoor en Tramwegen.
Prayogo, Yoga Bagus.,dkk. (2017). Kereta Api di Indonesia Sejarah Lokomotif Uap. Yogyakarta: JB. Publisher.
Abdullah, Syafei. (2002). Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api Muarasijunjung - Pekanbaru 1943-1945. Pekanbaru: UNRI Press.
Meyer, J. (1946). Nogmaals de Doodespoorweg van Pakanbaroe (Sumatra). Utrech: Spoor en Tramwegen.
Prayogo, Yoga Bagus.,dkk. (2017). Kereta Api di Indonesia Sejarah Lokomotif Uap. Yogyakarta: JB. Publisher.
Komentar
Posting Komentar